Minggu, 28 April 2013

News : Simpang-siur kebijakan BBM ciptakan 'ketidakpastian'




Peneliti, pelaku usaha dan lembaga konsumen menyerukan agar pemerintah segera mengumumkan sikap terkait wacana menaikkan harga bahan bakar minyak, BBM.
Beredarnya macam-macam berita terkait harga BBM termasuk pemberlakuan dua harga serta tarik-ulur rancangan kebijakan dianggap kontraproduktif terhadap upaya pertumbuhan ekonomi.

Menurut Indef wacana menaikkan harga BBM sudah mulai dikaji secara serius oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 2010, namun kemudian wacana kendur akibat derasnya penolakan publik."Kata kunci dalam ekonomi adalah kepastian, nah sekarang ini kepastian yang tak ada karena seperti diulur-ulur terus," kata Ketua lembaga peneliti kajian ekonomi Indef, Enny Sri Hartati, kepada BBC Indonesia.
"Tahun 2011 ada bakar-bakaran tolak BBM naik, tapi sekarang kan sudah jauh lebih siap, apa lagi yang ditunggu?" tukasnya.
Sikap yang sama diutarakan Asosiasi Pengusaha Indonesia yang mempertanyakan kenapa pemerintah tak kunjung memutuskan sikap perihal kenaikan harga BBM.
Ketua Apindo, Sofyan Wanandi, mengatakan pengusaha dirugikan akibat dampak wacana kenaikan harga BBM yang simpang-siur, namun kebijakannya sendiri ternyata tak kunjung berlaku.
Sementara Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Sudaryatmo, berpendapat wacana dan berbagai pernyataan pejabat tinggi pemerintah yang berubah-ubah tentang harga BBM menunjukkan penguasa 'tak punya kepercayaan diri' menaikkan harga BBM.
"Cuma berani berwacana, kalau tidak dinaikkan membebani APBN. Tapi kalau dinaikkan membebani rakyat. Itu saja terus," kritiknya.

Kepentingan 'jangka pendek'


Wacana terakhir yang muncul dari Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebut pemerintah merencanakan penjualan BBM dengaa dua harga; subsidi penuh dan subsidi yang sudah dikurangi.
Harga BBM dengan subsidi dikurangi diperkirakan jatuh pada kisaran antara Rp6.000 hingga Rp7.000 per liter.
Namun rencana ini sudah banyak mengundang penolakan karena dianggap terlalu rumit dan tidak realistis. Kalangan pengusaha stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) misalnya menolak karena dianggap menyulitkan penjualan.
Pemerintah juga dipandang tak punya kemampuan mengawasi penjualan BBM kepada masing-masing penerima subsidi.
"Lihat kasus (penjualan) minyak tanah yang subsidi dan yang non-subsidi, kacau kan pelaksanaannya," tegas Enny Sri Hartati dari Indef.
YLKI dan Apindo justru mendukung agar harga BBM dinaikkan seragam untuk mengurangi besaran konsumsi serta memangkas beban subsidi APBN.
Meski akan mendongkrak inflasi dalam jangka pendek, dalam jangka panjang daya beli konsumen akan segera menyesuaikan dengan harga BBM.
Sudaryatmo dari YLKI berharap subsidi energi sebesar Rp230 triliun dapat dipakai untuk kebutuhan penting lain di luar BBM.
"Cuma sekarang kan disandera oleh kepentingan politik jangka pendek, sehingga pemerintah terus ragu-ragu saja naik-tidak, naik-tidak."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar